- Back to Home »
- Bahasa Indonesia »
- Azab Dan Sengsara
29 Oktober 2011
Ringkasan Cerita Novel,
AZAB DAN SENGSARA
(KISAH KEHIDUPAN SEORANG GADIS)
Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
Umumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan
novel Azab dan sengsara ini sebagai novel pertama di Indonesia
dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai
novel pertama lebih banyak didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan
Indonesia modern lahir tidak dari peran berdirinya Balai Pustaka. 1917, yang
cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel
yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu
sekolahan, Azab dan Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks
itulah novel ini menempati kedudukan penting.
Tema Azab dan Sengsara sendiri yang
mempermasalahkan perkawinan dalam hubungan nya dengan harkat dan martabat
keluarga, bukanlah hal yang baru. Novel-novel yang terbit di luar Balai
Pustaka-yang umumnya menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu
pasar-juga banyak yang bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang ka
Nu Ngora (Racun Bagi Kaum Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata
(1866-1947) yang diterbitkan Balai Pustaka, juga bertema perkawinan dalam
hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga. Jadi, secara tematik,
novel Azab dan Sengsara, belumlah secara tajam
mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan adat.
Ini ringkasannya
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong
yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat
segan dan hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan
dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin
almarhum, sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa
hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal
dalam keadaan demikian.
Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah
menghalanginya unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah
berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa
benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk
hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak
mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan
segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera
mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke
Medan.
Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan
ibunya yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah.
Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang
tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah
Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin
dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha
menolong keluarga miskin itu.
Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah
Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin
dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin
kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat
dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan
niat putranya.
Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas
mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika
kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh
karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi
ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar
perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan
Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang
menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis
keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan
kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa
yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti
kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram
kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga
meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya.
Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula
kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan.
Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang
bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada
orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain
menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan
keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia
mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya.
Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak
terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya,
Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak
diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang
bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan
harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa
menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru
saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya,
penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit
berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri.
Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan
intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan
rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan
kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun
menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu,
secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan
tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun,
bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan
amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin
akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi
kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan
hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong
halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita
itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah
tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.” (hlm. 163).
Baca Juga disini